TamasyA
LoveHateDreamsLifeWorkPlayFriendshipSex, What is happiness to you?
Monday, March 01, 2010
Shutter Island – Bayang-Bayang Ilusi
Shutter Island
Genre(s): Mystery | Suspense/Thriller
Penulis: Laeta Kalogridis dari novel karya Dennis Lehane
Sutradara: Martin Scorsese
Durasi: 148 menit
Bintang: Leonardo DiCaprio, Mark Ruffalo, Ben Kingsley, Michelle Williams, Patricia Clarkson, dan Max von Sydow
Seusai menonton Shutter Island, saya memang langsung merasakan kesulitan bagaimana cara menuliskan review-nya tanpa sedikitpun membahas twist-nya yang penting itu. Maklumlah, jalinan cerita di film ini, sejak awal memang dibangun untuk mencapai klimaks pada twist tersebut. Atau kalau istilahnya Roger Ebert, kritikus kondang di Amrik sono,” Everything is brought together into a disturbing foreshadow of dreadful secrets.” Tapi tenang saja, saya akan berusaha sebaik-baiknya untuk menuliskan film ini, tanpa membocorkan ending yang penuh kejutan itu.
Jika Anda penggemar film misteri dengan atmosfir yang mendukung, maka Shutter Island pilihan yang tepat. Martin Scorsese membuka film ini pada sebuah perjalanan laut berlatar langit yang suram dan suasana penuh ketegangan. Film ini ber-setting tahun 1954, saat 2 orang US Marshals, Teddy Daniels (Leonardo DiCaprio) dan Chuck Aule (Mark Ruffalo) menumpang sebuah ferry yang mendekati garis pantai sebuah pulau batu yang tampak di kejauhan. Kedua aparat ini seolah sudah menangkap pertanda buruk akan terjadi atas diri mereka, sejak pulau itu masih tersembunyi di balik kabut.
Sesaat kemudian, ferry merapat di satu-satunya dermaga di pulau itu. Namun penonton seperti tidak ikut merapat ke daratan, melainkan terus terapung-apung di lautan kebingungan, sembari menyaksikan kisahnya perlahan-lahan terungkap semakin jelas. Jadi percayalah, semakin sedikit Anda tahu mengenai akhirnya, Anda akan semakin menikmati kejutan demi kejutan yang muncul.
Selanjutnya kita dibawa menyaksikan film ini dari sudut pandang Teddy Daniels. Teddy yang veteran Perang Dunia II ini adalah seorang yang tegang dan cukup ‘sakit’, terutama karena berbagai insiden tragis yang traumatis di masa lalunya, termasuk saat menjadi tentara di Perang Dunia II melawan Jerman. Bersama Chuck Aule, Daniels berusaha menyelidiki peristiwa menghilangnya Rachel Solando (Emily Mortimer), seorang pasien di rumah sakit jiwa khusus kriminal, Ashecliff Hospital.
Rachel adalah pasien yang cukup berbahaya. Dia sudah menenggelamkan 3 orang anaknya. Penyakit jiwa yang diderita Rachel membuatnya percaya bahwa anak-anaknya masih hidup dan mereka masih tinggal di rumahnya. Rachel kabur meninggalkan selnya yang terkunci dan dengan bertelanjang kaki, padahal kondisi di pulau itu tidak memungkinkannya untuk bertahan tanpa menggunakan alas kaki.
Penyelidikan Daniels dan Aule seperti mendapat hambatan serius dari Kepala Psikiater Ashecliff, Dr. John Cawley (Ben Kingsley) dan seorang dokter senior keturunan Jerman, Dr. Jeremiah Naehring (Max Von Sydow). Daniels pun menjadi sangat curiga mengenai tempat ini. Apalagi kemudian Daniels mencurigai keberadaan pasien ke-67, Andrew Laeddis yang misterius.
Sutradara Martin Scorsese kali ini berkolaborasi dengan sinematografer Robert Richardson dan menghasilkan gambar-gambar ciamik. Setiap frame yang muncul terasa membangun suasana misteri semakin mencekam. Richardson sendiri sebelumnya pernah menang Oscar lewat JFK dan Aviator. Penampilan Leonardo DiCaprio - yang kini semakin berumur - seperti biasa sangat meyakinkan, apalagi didukung penampilan bintang-bintang senior seperti Max Von Sydow, Ben Kingsley, Ted Levine dan Patricia Clarkson. Bintang-bintang muda seperti Mark Ruffalo, Michelle Williams dan Emily Mortimer juga patut diacungi jempol.
Film ini memukau dalam caranya bermain-main dengan persepsi penonton dan diciptakan dengan kompetensi maksimal sehingga hasilnya sangat menonjol, meskipun storyline-nya mengikuti novel karya Dennis Lehane yang telah diterbitkan sebelumnya. Kekuatan film ini, seperti juga bukunya adalah ketika film ini tidak sedikit pun berusaha membuat penonton merasa nyaman dengan apa yang disaksikannya. Garis batas antara fantasi dan realitas yang seringkali kabur, sehingga penonton pun menjadi ragu akan kisah yang disaksikan di layar, but in a very good and beautiful way.
Sebaiknya saya memang tidak menceritakan ending-nya yang sedikit mirip dengan film terbaik Indonesia tahun lalu. Kalau Anda berhasil menebaknya sebelum film selesai, maka saya kira Anda yang akan merasa rugi. Yang jelas, film ini adalah akan sangat menghibur bagi penggemar film misteri yang rumit dan penuh kejutan.
Wednesday, February 17, 2010
Raise the Red Lantern - Sebuah masterpiece yang melampaui berbagai definisi
Sutradara: Zhang Yimou.
Diangkat dari Novel Wives And Concubines karya Su Tong.
Durasi: 126 Minutes.
Pemain:
Songlian: Gong Li ; Third Wife: He Caifei ; Second Wife: Cao Cuifeng ; First Wife: Jin Shuyuan
Raise the Red Lantern adalah salah satu film terindah yang pernah saya saksikan. Latarnya begitu memesona, tertata rapi, didekorasi dan dibingkai dengan sempurna. Gambar-gambarnya direkam melalui berbagai angle yang atraktif. Lihatlah butir-butir salju yang jatuh di atap rumah seakan mampu memberi efek dingin yang menggigit di batin penonton. Warna-warna, detil dan cahaya yang mencolok di bagian dalam rumah, bertentangan dengan kesederhanaan yang muram di halaman rumah, seolah-olah berupaya untuk terus menerus membangun kontras antara kehidupan di dalam perlindungan sang tuan besar dan kehidupan tanpa sang tuan. Jangan pula melewatkan ilustrasi musik yang nyaring dan mengiris jiwa.
Tetapi terlepas dari kecantikan visual film ini, saya amat terpikat dengan kisah yang ditulis Su Tong dan diangkat ke layar lebar oleh Zhang Yimou ini. Sebuah kisah tentang kekuasaan patriarki yang menindas, berlatar negeri China awal abad ke-20. Kisah bermula dari kedatangan sang istri keempat. Songlian yang baru berusia 19 tahun. Songlian awalnya seorang mahasiswi. Wafatnya sang ayah memberi arah baru bagi kehidupan Songlian. Dia dipaksa berhenti sekolah dan menikahi pria kaya. Songlian dipaksa menerima nasib untuk hidup sebagai gundik, meskipun dengan sinisme dan kepahitan yang tak henti ditunjukannya.
Hal yang juga sangat memikat adalah tuturan Zhang Yimou yang tampak begitu mudah menyingkap kepribadian dari karakter-karakternya, seiring dengan bergulirnya cerita. Istri pertama sudah terlalu tua untuk menjadi daya tarik seksual bagi sang tuan, tetapi dia adalah ibunda dari sang putra tertua. Istri kedua yang telah memberikan seorang putri, masih mengidam-idamkan dapat melahirkan seorang putra mahkota. Istri ketiga, seorang mantan penyanyi opera yang masih cantik dan berusaha menggunakan daya tarik dengan segala cara untuk mencuri perhatian sang tuan. Sementara Songlian menemukan dirinya terjebak dalam kompetisi memperebutkan perhatian dan mungkin juga cinta, dari sang tuan.
Di luar keempat istri sang tuan, ada pula seorang babu yang menjadi korban utama dari sistem pergundikan ini. Karena beberapa kali tak sengaja ‘tersentuh’ oleh sang tuan, dia pun bermimpi menjadi istri keempat. Ketika Songlian datang, impiannya buyar dan dia pun terbakar api cemburu.
Gong Li memerankan Songlian dengan daya pikat yang meluap-luap dan sangat cantik. Gong Li memang selalu mampu mengekspresikan rentang emosi yang cukup luas hanya dengan sekilas ekspresi saja. Hal ini yang telah membuat banyak penonton jatuh cinta padanya.
Sementara sang tuan sendiri hanya digambarkan dengan samar-samar. Dia adalah seorang pria kaya. Itu saja cukup untuk menggambarkannya. Namun kekuatan itu berhasil menjadikannya sumber konflik di antara para istrinya, bahkan pembantunya. Bagaimana kehidupan dalam sistem pergundikan ini membangun logika-logikanya. Bagaumana sang tuan dapat membuat wanita-wanita itu bersaing memperebutkan cintanya, hanya sekadar untuk mendapat tempat yang layak dalam kehidupan.
Tetapi bagi saya, tragedi paling menyedihkan bukan sekadar kisah poligami yang digambarkan dengan brutal. Film ini tidak sekadar menceritakan menceritakan dunia patriarki yang menindas. melainkan dunia dengan kelas dan kasta yang tidak berpihak pada kaum yang lemah. Hidup yang seolah tanpa pilihan dan membuat kalangan yang lemah bersedia menukar kebebasannya bagi sebuah imajunasi akan kebahagiaan melalui penguasaan materi. Sebuah permasalahan yang belum benar-benar tuntas hingga dekade pertama di abad ke-21 ini.
Ya, film ini bagi saya sangat bagus, kisah yang kuat dengan tuturan dan struktur yang lancar dan mudah dicerna, serta direkam dengan kejeniusan visual yang menakjubkan. Sebuah masterpiece yang melampaui berbagai definisi.
Film yang indah ini akan diputar oleh #klubfilm bicarafilm.com dan curipandang.com dalam rangka merayakan Tahun Baru China dan Hari Kasih Sayang yang jatuh bersamaan di tahun ini. Acara nonton bareng ini rencananya akan diadakan pada Jumat 19 Februari 2010 pukul 18:00 WIB (jangan telat!). Berikut detailnya:
Tempat: Jl. Achmad Dahlan Nomor 39 Gandaria (rumah yang letaknya pas di depan Universitas Uhamka Kebayoran Baru. Kalo dari terminal blok M, dilewatin sama Metromini 72 yang trayeknya Blok M - Lebak Bulus)
Konsumsi: Masing-masing bawa makanan alias potluck. Lebih ok lagi sudah tahu mau bawa apa sebelum hari H. Kalo cuma air putih kita sudah sediakan di sini.
HTM: Gratis tis tis.
Jika berminat ikut, silakan langsung beri komentar di bawah ini. Kapan lagi nonton film ok, sambil kenalan sama warga Curipandang dan bicarafilm yang lain? Psst, bakal ada bagi bagi hadiah pula lho. Ditunggu RSVPnya!
Wednesday, January 27, 2010
LYMELIFE - PERJALANAN BERAT MEMENUHI IMPIAN-IMPIAN
Lymelife
Sutradara: Derick Martini
Produser: Martin Scorsese dan Alec Baldwin
Skenario: Derick dan Steven Martini
Bintang: Rory Culkin, Alec Baldwin, Emma Roberts, Jill Hennessy, Kieran Culkin, dan Timothy Hutton.
Sinematografi: Frank Godwin
Lymelife adalah sebuah kisah coming-of-age menawan yang berlatar akhir 1970-an di Long Island, New York. Ketika itu penyakit yang dikenal dengan nama Lyme Disease baru saja mewabah di Amerika Serikat dan masih sangat misterius. Tetapi film ini sama sekali bukan soal Lyme Disease. Wabah ini hanya hadir sebagai latar film ini seperti diucapkan salah satu karakternya, "Isn't it amazing that your whole life can be changed by a bug the size of a pimple on your ass?" kata Charlie Bragg yang kehilangan gairah hidup karena penyakit ini.
Film ini lantas mengikuti 2 keluarga tidak bahagia, The Bartletts dan The Braggs lewat kacamata Scott Bartlett, remaja 15 tahun yang diperankan Rory Culkin. Scott adalah anak cerdas tetapi tidak menonjol. Dia bukan anak kutu buku di sekolah, bukan pula bintang olahraga populer. Dunianya beredar di antara bayang-bayang kekaguman pada Han Solo (Star Wars) – seperti kebanyakan remaja di akhir 1970-an, pictorial di majalah-majalah porno dan cinta terpendam (sejak usia 8 tahun) pada Adrianna Bragg (Emma Roberts dalam peran dewasa pertamanya). Sayang, meski menganggap Scott sebagai pria menarik, Adrianna secara demonstratif selalu mengatakan bahwa ia hanya berkencan dengan pria yang lebih tua.
Dampak penyakit misterius yang diidap Charlie memberi kedua keluarga ini isu masing-masing. Charlie Bragg (Timothy Hutton) otomatis menjadi pria invalid setelah terhinggap penyakit ini. Dia tidak bekerja dan menghabiskan waktu dengan menghisap ganja di basement dan berburu rusa sambil kebingungan memahami apa yang tengah terjadi pada dirinya. Istrinya Melissa (Cynthia Nixon) harus bekerja pada Mickey Bartlett (Alec Baldwin) untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sisi lain, Mickey juga bermasalah dengan istrinya Brenda (Jill Hennessy) yang selalu tidak bisa menerima sikap egois dan flamboyan Mickey. Mickey dan Melissa pun segera saja terlibat dalam perselingkuhan yang semakin terbuka.
Hal ini sangat mempengaruhi anak-anak mereka. Adriana dan Scott mengetahuinya. Adriana bersikap sinis, sementara Scott merasa dikhianati ayahnya. Konflik meletus ketika kakak Scott, Jimmy (Kieran Culkin) kembali ke rumah dari pendidikan militernya dan menemukan bahwa ayahnya telah berselingkuh dengan Melissa. Kemarahan Jimmy menguak luka-luka di dalam keluarga ini. Kelakuan mata keranjang Mickey dan perilaku aneh Brenda yang ternyata menghantuinya sejak kecil. Jimmy akhirnya memutuskan untuk menyingkir dari rumah. Sementara Scott yang masih terlalu muda menjadi korban yang paling hancur karena hal ini. Sejak awal, Scott sangat bergantung dan membangun rasa percaya dirinya pada citranya akan figur Jimmy. The worst part about this, for Scott, terutama karena Melissa adalah ibu Adrianna yang dicintainya. Masih tersisa sedikit rasa manis di film ini yang menjauhkan citra kegelapan. Film ini adalah tentang karakter-karakter yang membangun hidupnya dengan harapan-harapan dan impian-impian. Mereka tertatih-tatih berusaha untuk mengejar impiannya, meskipun berat dan terluka.
Duet Culkin Brothers menjadi daya jual utama film ini. Rory Culkin yang memegang peran besar berhasil melakoninya dengan sangat baik. Dia sukses menampilkan kemarahan bocah remaja, juga kebingungan dan kerapuhannya. Emma Roberts mengimbanginya dengan sangat apik dengan kenakalan dan kegenitan yang cerdas. Alec Baldwin juga sangat sukses dengan perannya. Seolah-olah dia kembali ke karakter aslinya sebelum banting stir menjadi komedian 3 tahun terakhir ini. Sementara Cynthia Nixon dan Jill Hennessy justru bertransformasi menjadi karakter yang berbeda total. Setelah Sex and The City, siapa yang membayangkan Cynthia Nixon berperan sebagai bimbo, dan ternyata dia sangat berhasil dalam hal ini. Timothy Hutton adalah yang paling cemerlang. I give him credit for investing the character with a full dose of creepiness.
Sebenarnya tidak ada elemen-elemen baru yang luar biasa menonjol dalam film ini. Pada akhirnya film ini jadi semacam feel-good movie yang sedikit mencerahkan. Yang membuat film ini lepas dari stereotip film indie adalah akting yang hebat dan skenario yang cerdas. Skenario yang ditulis Derick Martini dan Steven Martini memberi ruang bagi para aktor untung menghuni perannya masing-masing dengan nyaman. Ada kekuatan naratif juga pada film ini yang berhasil mengeliminasi material yang terkesan klise. Meskipun ending-nya agak terasa gagap, namun tetap membuat saya kagum pada film ini.
Tuesday, January 19, 2010
AT THE END OF DAYBREAK
Dilema Cinta Terlarang di Negeri Jiran
At the End of Daybreak (Sham Moh) adalah salah satu dari sedikit film Malaysia yang berani mengajak dunia memperbincangkan tabu. Mengajak kita membincangkan dengan jujur tentang dorongan-dorongan yang salah, lantas tentang rangkaian keputusan dan tindakan yang menciptakan belitan masalah yang kian lama sulit diurai.
Dalam film besutan Ho Yuhang ini, kita diperkenalkan pada Tuck Chai, seorang pemuda 23 tahun yang berhubungan asmara dengan Ying, seorang gadis sekolahan yang masih di bawah umur. Bermula dari chatroom di Internet, hubungan terlarang ini awalnya berjalan mulus, sampai ketika teman-teman sekolah Ying ikut terlibat dan mengambil tindakan.
Dunia dua keluarga mulai goyah, terutama bagi Tuck Chai dan ibunya.
Tuck cai diperankan salahsatu bintang multibakat Hong Kong Chui Tien You, tinggal bersama ibunya (aktris kawakan Hui Ying Hung) yang terus tertekan setelah pengkhianatan suaminya. Namun di balik kesedihannya, ia rela melakukan apapun demi sang buah hati. Ketika orang tua Ying menyatakan akan melaporkan Tuck Chai ke polisi, sang ibu memohon agar persoalan mereka diselesaikan di luar pengadilan, dengan uang kompensasi yang harus ia pinjam dari mantan suaminya.
Setelah menerima uang, orang tua Ying memutuskan tetap melapor ke polisi. Batasan-batasan baik dan buruk, benar dan salah, menjadi kabur. Ying - diperankan bintang TV Asia Tenggara Ng Meng Hui – ingin menemui Tuck Chai untuk terakhir kalinya, ketika hubungan lelaki itu dengan ibunya sedang genting.
Dalam waktu singkat, akibat cinta buta dan keserakahan hidup beberapa orang bukan lagi dipertaruhkan, melainkan terus terperosok ke dalam kehancuran.
Film ini menggandeng nama-nama terbaik dari sinema Malaysia yang sedang tumbuh, termasuk produser Lorna Tee, sinematografer Teoh Gay Hian dan musisi Pete Teo, At the End of Daybreak adalah salah satu persembahan kultural Malaysia yang perlu kita nikmati. Semoga diputar lagi selain di JIFFEST 2009.
TECHNICAL SPECIFICATIONS
Running Time 94 minutes
Gauge 35mm 1:1.85 Color
Sound Dolby 5.1
Language Cantonese/Mandarin
Year of Production 2009
Country of Production Malaysia/ South Korea
Monday, March 16, 2009
Breaking The Slump: How Great Players Survived Their Darkest Moments in Golf and What You Can Learn From Them
Jimmy Roberts // HarperCollins Publishers // 256pp
Award winning reporter, writer and NBC Golf Commentator Jimmy Roberts gathers advice on how to recover from playing the inevitable stretch of bad golf, sharing "slump stories" from the greatest players of past and present, and some prominent golf-addicted celebrities. For the first time ever is a book about the worst times in the careers of some of the most successful people-including Jack Nicklaus, Arnold Palmer and Greg Norman-and how they dug themselves out. Every golfer should keep this book as a spiritual and emotional aid because every golfer, like it or not, will suffer a slump in their lifetime.