Friday, July 15, 2005


Gie (Riri Riza, 2005) picture taken by Timur Angin
GIE; Membaca Keberanian Riri Riza

Setelah sebulan nonton Gie, akhirnya baru berhasil merumuskan tulisan agak panjang lebar dan personal tentang film ini. Memang cuma corat-coret kasar menanggapi sentilan dari Mas Totot - thanks to him!. Sekedar mengeluarkan gas-gas beracun dari kepala.

Bagi gw, film ini cukup bagus. Waktu baca bukunya, ada momen-momen personal yang muncul pada bagian-bagian tertentu. Nah, film ini juga begitu. Bisa menghadirkan momen personal. Pada hal-hal yang kecil banget, misalnya ketika SHG mencopot gulungan film, ketika rapat aksi, ketika di kelompok diskusi, atau ketika dia naik gunung dengan teman-temannya. Gw jadi inget, gw melakukan hal-hal itu juga. Makanya hal ini gw tuangkan di blog gw bagian diari-nya. Gw baca buku Catatan Harian Seorang Demonstran waktu masih orientasi mahasiswa tahun 1994. Waktu itu kan gw lagi cari pegangan banget untuk hidup sebagai mahasiswa. Gw akui, dalam proses ini buku SHG cukup berpengaruh pada pilihan gw. Makanya menyaksikan itu digambarkan lagi, gw jadi inget ketokohan SHG pada hidup gw. Secara teknis juga, Riri Riza tidak perlu diragukan lagi. Kalo meminjam istilah mas Totot dulu, dia juga memiliki mata kamera yang piawai. Bagi gw juga film ini layak kalau dilepaskan dari pertanyaan seperti; Pas gak ceritanya dengan aslinya? Atau mirip gak Nicholasnya dengan SHG? Atau akhirnya sama gak?

Soal penilaian lebih luas soal filmnya. Gw sendiri sedang mencoba merumuskan formula film biopic yang bagus. Waktu nonton Gie, gw merasa ini memang bagus tetapi ada komanya. Gw merasa masih punya PR, untuk menemukan apa yang salah. Soalnya seperti kurang mantap gitu. Kalau gw sih nggak merasa film ini payah atau mengecewakan. Untuk ini, gw dengan sengaja nonton banyak biopic mulai dari Aviator, Ray, The Motorcycle Diaries, Erin Brokovich, Nixon, Michael Collins, Veronica Guerin, Beautiful Mind, Ali, Man on The Moon, Amadeus, Gandhi, Tjoet Nja' Dhien sampe The Doors dan People VS Larry Flint. Untuk menemukan benang merah yang namanya biopic itu apa. Asyiknya, setelah menonton film-film ini, gw seperti punya wawasan baru bagaimana seharusnya gw menonton biopic. Hasilnya, gw jadi merasakan setidaknya ada beberapa kekurangan pada Gie:

1. Ide besar. Sebuah biopic butuh suatu gagasan yang ingin disampaikan pada penontonnya. Maksud gw adalah bagaimana sang sutradara menginginkan tokoh ini dikenang atau hal apa dari sang tokoh yang diinginkan sutradara menjadi inspirasi bagi penonton. Dengan kata lain spiritnya. Sehingga ketika jadi sebuah film, dia bisa teguh menjejak pada suatu basis yang kuat. Biopic tidak bisa tok bercerita tentang perjalanan hidup seseorang tanpa gagasan yang ingin disampaikan. Pram dalam prolog Anak Semua Bangsa menyebutkan bahwa melihat kehidupan manusia lain itu sebuah pekerjaan yang membosankan kecuali kalau kita melihat prosesnya berpijak pada akarnya (Gw nggak hapal kutipan aslinya, tetapi kurang lebih seperti ini maksudnya). Kalau tidak ditentukan gagasan besarnya kita akan menclak-menclok dalam penggambaran kehidupan seseorang. Ini jadi penting, karena manusia pada esensinya tidak hanya punya satu sisi. Media film kan punya keterbatasan untuk menyampaikan semua sisi kehidupannya. Gw lihat dari hampir semua film itu, pasti ada ide besar yang ingin disampaikan. Sang sutradara menginginkan tokohnya dilihat sebagai apa. Dari list film di atas, mau tokoh negarawan serius macam Nixon, Gandhi atau Michael Collins, tokoh independen macam Veronica Guerin, Erin Brokovich sampai John Nash (Beautiful Mind) sampai tokoh yang kehidupannya acak gila-gilaan macam Ray, Jim Morrisson (The Doors), Ali sampai Larry Flint. Semua punya gagasan besar dulu yang ingin disampaikan pada penonton. Ini tidak dimiliki Gie, Sehingga sampai akhir kita tidak paham sutradara inginnya kita mengenang Gie bagaimana atau seperti apa. Begitu banyak sisi kehidupan Gie yang dicuplik mengarahkan pemaknaan ke satu gagasan dan cuplikan yang lain mengarahkan kita pada gagasan lain. Adegan-adegan yang dibuat tidak mengarahkan gagasan yang ingin disampaikan sutradara. Menurut saya, di sini yang diuji keberanian Riri memilih sisi mana dari seorang SHG yang ingin ditonjolkannya. Misalnya bagi gw, SHG itu menginspirasi gw untuk hidup dengan kritis maka harus dibuat adegan-adegan yang mengarahkan kita pada gagasan itu. Tanpa gagasan ini tindak tanduk SHG di film ini hanya menjadi random actions yang tak bernilai. Nonton film buat apa? Nonton Ira nyanyi Dona Dona, untuk apa? Akhirnya benar, jadi serba tanggung semua karena gak ada gagasan yang menjejakannya. Persahabatannya tanggung, gak tergali lebih luas, percintaannya tanggung, karir politik juga tanggung, kepenulisannya juga tanggung. Untung saja, gw sudah pernah baca bukunya jadi sudah punya background di luar layar. Bagi yang sudah baca bukunya, hal ini tertolong dengan kesan tentang SHG yang sudah menancap di pikiran kita, tetapi kalau belum? Wallahu'alam.

2. Pembentukan Karakter/Penokohan. Artinya bagaimana sang tokoh mencapai ketokohannya. Jelas yang namanya manusia itu berproses jadi ketokohannya tidak 'given' datang dari surga. Sebaliknya itu yang terjadi dalam Gie, dia sudah 'given' menjadi pembangkang, tanpa pernah dielaborasi lebih jauh kepahitan apa yang menimpanya atau apa yang membentuknya menjadi kritis. Bandingkan dengan Che Guevara di Motorcycle Diaries, atau bahkan Tjoet Nja' Dhien garapan Eros Djarot. Bahkan hampir semua dalam list itu melakukan pembentukan karakter yang jelas. Sebagian pembentukan karakter ini berhubungan dengan point pertama di atas. Karena nggak jelas gagasan yang ingin disampaikan, maka tokoh SHG cuma dicuplik aja penggalan kisah hidupnya. Mestinya gagasan itu bisa dijadikan alat seleksi karakter yang ingin ditonjolkan, lalu dirunut ke belakang bagaimana itu terbentuk.

3. Peta konflik tidak teridentifikasi dengan baik. Dalam film ini tentu saja tergambar beberapa konflik SHG dengan pihak lain, tetapi kebanyakan disampaikan dalam bentuk narasi. Seolah-olah sang sutradara lupa, bahwa dia bukan mengangkat tokoh yang sudah sangat populer dan seluruh pemikirannya dikenali dengan baik oleh penonton. Sesudah nonton sebulan yang lalu, seorang teman saya wartawati sebuah majalah terkenal di Jakarta langsung bertanya pada saya. Sebenarnya si Soe Hok Gie ini siapa sih? Film ini bahkan tidak menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan ini bukan menuntut gagasan besar seperti poin 1, tetapi menuntut positioning tokoh kita ini terhadap dunia di sekitarnya. Dia menyebut dirinya pengagum Soekarno tetapi mengapa meruntuhkan kekuasaan Soekarno. Di film ini, Riri memberi jawaban dengan cara mempertemukan SHG dengan Soekarno. Jawabannya jadi personal, seolah-olah SHG punya masalah pribadi dengan Soekarno yaitu waktu ketemuan itu. Padahal bukan itu yang terjadi. Sekilas memang digambarkan politik Soekarno memarginalkan rakyat kecil, tapi ini sedikit sekali porsinya dan seperti tidak ada hubungannya dengan ketidaksukaan SHG pada dia. Selain itu memang dinarasikan bahwa Soekarno memerintah seperti raja-raja Jawa, beristri banyak, membangun istana-istana? Lantas efeknya apa? Masih banyak hal lain yang cuma disebut saja, seperti Politik Tahi Kucing, kenapa tahi kucing? Nggak dijawab. Ada apa dengan PMKRI dan HMI? Dijawab dengan narasi, bukan pengadeganan. Apa yang salah dengan Orde Baru? Tidak dijawab. Aristides itu siapa? Dijawab dengan menunjukan lambang Sinar Harapan aja, terus sudah. Bahkan pertanyaan ada apa dengan Sinta? Tidak dijawab. Apa kita berharap orang mengerti dengan cara itu. Peta konflik ini tidak perlu dijelaskan satu persatu, semestinya sublim dalam storyline. Nah, dalam hal ini makanya proses seleksi akhirnya penting lagi. Masih soal peta konflik. Sepertinya dalam film ini juga ragu menyampaikan pemikiran Gie terhadap tokoh-tokoh yang masih hidup. Padahal Gie dalam diary-nya banyak menghujat orang lain juga. Bahkan nama Soeharto pun tidak disebut sama sekali, seingat gw. Lantas tulisan betapa tidak menariknya pemerintahan sekarang yang terkenal banget itu kehilangan relevansinya. Makanya ketidaksukaan SHG pada pemerintahan Orba tidak tersebut dengan jelas. Yang ada setelah era demo 66, SHG cuma seperti orang yang kena Peter Pan Syndrome yang merindukan masa-masa mudanya ketika jaya sebagai demonstran dan gak pingin jadi dewasa. Konfliknya melemah dengan jelas, pada bagian Orde Baru.

4. Pemilihan cast. Gw termasuk orang yang percaya bahwa dalam sebuah biopic apalagi biopic tokoh yang kita ingin sampaikan ketauladanannya kepada penonton, maka pemeran si tokoh tidak harus mirip. Artinya dengan cara ini, nilai-nilai yang diusung si tokoh bisa aktual ketika diperankan siapapun. Tetapi kata kuncinya adalah nilai-nilai yang diusung bisa aktual. Ketika SHG masih diperankan Jonathan Mulia, dia tidak perlu melalui banyak fase. Akhirnya Jonathan Mulia bisa mengembangkan karakter Gie lebih baik daripada Nicholas Saputra. Ketika Nico mengambil alih peranan sebagai Gie, dia harus merepresentasikan terlalu banyak fase/babak dalam kehidupan Gie. Pertanyaan yang relevan akhirnya, si pemain sanggup gak mengaktualisasikan nilai-nilai yang diusung si tokoh? Atau dia malah canggung? Atau memang perannya dibikin tanggung karena tiap babak cerita dia harus jadi sosok yang baru lagi.

Tuesday, July 12, 2005

AYO MENONTON

Brothers and Battles
Sebuah semesta baru film perang

Tae Guk Gi
Cast: Jang Dong-Gun, Won Bin
Director: Kang Je-gyu
Original: Inilah the most expensive Korean film ever - milestone sinema modern negeri ginseng. Budget produksinya ditaksir mencapai $ 12,8 juta. Hasilnya film perang yang intense, flamboyant, powerful dan laris manis. Kisah 2 saudara Lee Jin Tae dan Lee Jin Seok hidup bersama ibu mereka. Ketika pecah Perang Korea, sang adik Jin Seok dipaksa menjadi tentara Korea Selatan. Kakaknya, Jin Tae berusaha mencegah, namun tak kuasa melawan militer. Dia malah dipaksa bergabung juga. Jin Tae bersumpah menjaga adiknya sampai akhir hayat dan selalu melindungi adiknya di medan tempur. Tapi ini tak cukup. Jin Tae lalu bertempur mati-matian agar memperoleh medali kehormatan dan bisa meminta adiknya dipulangkan. Namun keberanian gila-gilaan ini justru menimbulkan konflik dengan Jin Seok yang tak ingin kehilangan Jin Tae.
Film ini seperti menampilkan sadistic action a la film Jepang dibalut Hollywood's sense of style. Dalam film ini, horrific war scenes merely act as a crimson backdrop to the quieter, more intimate and ultimately more stirring main story. It is a story of two brothers and what war takes on their love. The point, in other words, is the emotion, never the violence itself. Film ini bahkan tidak berposisi di pihak utara atau selatan, dia hanya mengurai efeknya pada persaudaraan mereka, sambil sesekali menyelipkan pesan damai. Flashback opening-nya memancing pikiran bahwa film ini akan meniru Saving Private Ryan. Asumsi itu luncas selewat 5 menit pertama, karena tiba-tiba kita temukan semesta perang yang berbeda, Perang Korea. Penulis film ini pun terbukti sanggup mengelaborasi elemen-elemen Perang Korea hingga mampu melahirkan cerita yang kuat tetapi sangat unik, seperti pernah dilakukan Teguh Karya dalam November 1828.

Vintage Comedy
Perjalanan kocak untuk menemukan jati diri

Sideways
Cast: Paul Giamatti, Thomas Haden Church
Director: Alexander Payne
Original: Film ini lahir dari tangan dingin Alexander Payne yang sering menyajikan tema satire modernitas. Kali ini obyeknya adalah tradisi Bachelor Party. Tema ini jadi latar belakang mengupas hal lain yang terkait yakni persahabatan, cinta, seks dan wine. Alkisah, sepasang sahabat Miles dan Jack mengadakan road trip ke daerah pertanian anggur di California untuk wine tasting dan main golf selama seminggu, sebelum pernikahan Jack. Tetapi Jack yang gatal punya keinginan lain, yaitu merasakan one last fling. Obsesinya kesampaian ketika berkenalan dengan Stephanie. Sementara Miles mendekati Maya, waitress yang baru menjanda. Ulah nakal Jack mengacaukan liburan mereka. Tetapi bagi Miles, liburan ini meninggalkan kesan tersendiri, dia mulai menerima kebuntungannya dan mengatasi kemurungannya. Film ini memang berjalan lewat perspektif Miles. Dia selalu merasa gagal karena menulis novel yang tak kunjung terbit dan gagal dalam pernikahan. Dia memiliki self esteem problem, sekaligus kebaikan dan kejujuran. Oleh Payne, drama ini disampaikan dengan humor yang tertib. Tidak ada komedi yang dipaksakan atau mengada-ada. Kelucuan dibangun natural lewat penokohan. Jadilah film ini adalah komedi yang natural tentang sifat dasar manusia. Sebuah jeda yang menyenangkan untuk menarik nafas, juga dalam hidup penontonnya.
* 1 Oscar untuk Best Writing dan 4 nominasi untuk aktor, aktris, sutradara dan film terbaik.


DVD

Raising Arizona
Film kocak besutan Coen Brothers ini mengisahkan percintaan juru foto kepolisian dengan penjahat kambuhan. Setelah menikah, sang istri ternyata memiliki masalah kandungan, padahal mereka sangat mengidamkan hadirnya anak. Sementara itu, seorang pengusaha justru baru melahirkan kembar 5. Mereka pun memulai aksi kocak untuk memiliki salah satu anak ini.

Mengejar Matahari
Film paling personal karya Rudi Sudjarwo. Persahabatan 4 orang pria muda yang diuji ketika seorang gadis hadir dalam kehidupan mereka. Perpecahan tak terelakan. Ketika itu pula sesosok trauma dari masa kecil mereka muncul kembali dan menghancurkan semua yang mereka miliki bersama.


Shall We Dance
Pria paruh baya terobsesi belajar menari setelah menyaksikan sosok seksi di tepi jendela tiap hari. Usahanya belajar menari mengubah rutinitas harian dan melahirkan semangat baru. Akhirnya film ini tidak soal cinta-cintaan, tetapi menemukan target baru dalam kehidupan yang membosankan. Sayang, filmnya sendiri agak membosankan.

VCD

Nine Lives
Sembilan orang sahabat terjebak dalam kastil kuno Skotlandia ketika hantu dari abad ke-19 menggentayangi mereka. Satu persatu mereka dihabisi untuk menebus amarah sang hantu. Film ini termasuk tipikal horor biasa yang tidak membuat kita merinding lagi. Tetapi masih ada Paris Hilton yang bisa jadi hiburan mata yang segar meskipun hanya sesaat.

Bangsal 13
Prequel film Jaelangkung yang populer ini mengisahkan asal muasal kehadiran suster ngesot. Dua aktris cantik Enditha dan Luna Maya mampu berakting meyakinkan. Filmnya sendiri cukup berhasil membangun kengerian, tetapi sayang sekali beberapa adegannya mengingatkan kita pada film horor Jepang yang sangat populer.

Cellular
Sebuah telepon nyasar ke ponsel seorang pria muda membuatnya terlibat dalam upaya penyelamatan sebuah keluarga dari ancaman penculikan dan pembunuhan. Film ini cukup sukses membangun ketegangan yang dijalin dari kuat lemahnya sinyal dan batere ponsel. Karakter-karakter juga dibangun dengan matang, sehingga semua tampil meyakinkan.

The Blues Brothers
Slapstick musikal klasik yang dibintangi John Belushi dan Dan Aykroyd serta special performances penyanyi-penyanyi Blues legendaris. Sepasang penjahat kecil-kecilan berusaha membantu panti asuhan tempat mereka dibesarkan dengan membentuk Blues Band, lalu berusaha konser. Namun tindakan slebor mereka malah berbuntut kacau balau tetapi kocak.