Tuesday, June 12, 2007


6:30



24 Hours to Remember
Tumbuh Dewasa bersama Cinta dan Tragedi





Beberapa film karya mahasiswa Indonesia di luar negeri, meskipun dibuat secara indie dengan keterbatasan dana dan masih memiliki keterbatasan secara teknis, namun menyiratkan harapan bagi perfilman nasional. Demikian pula film ini, a good film indeed. Sebuah coming-of-age drama yang berkisah tentang persahabatan dan tragedi. Sayang sekali di Indonesia kerap terjadi good film goes unnoticed.


Film ini tentang 3 sahabat Alit, Bima dan Tasya yang tinggal di San Fransisco. Hari ini adalah hari terakhir Alit di kota itu. Alit berniat menjadikan hari terakhirnya sebagai hari perpisahan yang layak dikenang, walaupun tak mesti kenangan manis. Pada hari ini, mulai pukul 6:30 hingga 6:30 pagi hari keesokan harinya, ketiga sahabat itu menemui benturan-benturan yang memaksa mereka mengambil keputusan penting dalam pendewasaan mereka.

Film ini tak sekadar menawarkan panorama indah San Fransisco. Keunggulan utamanya justru pendalaman karakter psikologis tiga pelaku utamanya secara subtil lewat alurnya. Film ini seolah-olah menerima warisan pengaruh X generations. Kisah cinta segitiganya mengingatkan pada Reality Bites dan perjalanan ketiga tokoh ini mengingatkan kita pada Before Sunrise dan Before Sunset.

Jahitan-jahitan pengaruh itu disusun ulang dan membangun keunikannya tersendiri. Ketiga pemain utama berakting sangat matang dan chemistry yang terbangun terlihat sangat natural. Selain itu sinematografinya pun ditata dengan sangat apik dan indah. Sayang sekali kurang didukung dengan tata suara yang baik, sehingga beberapa bagian tidak terdengar dengan jelas.

H+ (PLUS), A NEW RELIGION? – Edward de Bono


SECRET OF POSITIVE WAY OF LIFE
Menuju Kebahagiaan Hakiki





H+ adalah akronim untuk Human+. Setidaknya begitulah bagi Edward De Bono. Penulis terkenal yang telah menelurkan beberapa best seller books ini telah diakui kapasitasnya sebagai pemikir ulung di bidang creative thinking. Mungkin Anda masih ingat karya terdahulunya Lateral Thinking dan Six Thinking Hats.

Kali ini de Bono menawarkan cara untuk menjalani hidup dengan positif. Tanda + (plus) sesudah huruf H mengindikasikan aspek-aspek terbaik dalam kemanusiaan. Aspek-aspek itu antara lain Happiness, Humor, Help, Hope and Health.

De Bono menjelaskan bagaimana caranya menerapkan 5H itu dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu de Bono juga menjelaskan bagaimana kelima hal itu akan berpengaruh posotif tak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi Anda. Tak ingin sekadar menjadi buku self-help, de Bono merancang pemikiranya ini untuk menjadi gerakan sosial yang akan meningkatkan harkat kehidupan manusia.



NAIF – TELEVISI – EMI Music

Retro Pop Kaya Rasa





Grup musik Naif rupanya belum kehabisan ide untuk mengolah ramuan musik retro pop dengan bumbu komedi. Resep sukses yang telah teruji di 4 album lepas dan 1 album kompilasi the best itu, kini disajikan kembali dengan lebih matang dan kaya rasa dengan eksplorasi beragam variasi sound. Lewat album ini, Naif menyuguhkan retro pop itu dalam beragam gaya. Mulai dari ballad, middle upbeat, brit rock, bahkan hingga dance music. Semuanya tetap enak didengar.


Album kelima Naif yang bertajuk Televisi ini memang lebih catchy dan mengikuti perkembangan zaman. Artinya mereka berhasil untuk bertahan pada akar retronya, sekaligus juga mengekspresikan pendapat terhadap berbagai fenomena terkini. Hasilnya sebuah paduan yang menyenangkan untuk disimak dan sama sekali tidak membosankan.

Seperti titular song-nya, lewat album ini Naif menghadirkan sebuah televisi dengan beragam ‘tontonan’ yang tidak basi, sehingga Anda tidak akan dibuat keki. Memang, selalu ada alasan untuk menyukai Naif.


Travelers’ Tale : Belok Kanan, Barcelona! –
Adithya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya dan Iman Hidajat.



BERKELANA LEWAT IMAJINASI




Sukar untuk memasukan buku ini dalam genre travel book atau fiction. Yang jelas buku ini adalah hasil perpaduan kedua jenis bacaan itu. Artinya buku ini bisa disebut buku travel, tetapi dengan bingkai fiksi, atau sebaliknya. Buku ini ditulis mengikuti perjalanan 4 karakternya, Francis, Farah, Retno dan Jusuf.

Dimulai dengan rencana pernikahan Francis, buku ini akhirnya mengikuti perjalanan masing-masing tokoh dari berbagai penjuru dunia untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah tersampaikan dalam persahabatan mereka.

Meski disisipi muatan traveling, buku ini sukses membangun ceritanya dan menyimpulnya dengan baik. Membacanya akan membawa kita berkelana ke berbagai penjuru dunia lewat imajinasi. Alurnya membuat kita, termotivasi untuk menyelesaikan buku ini hingga huruf terakhir. Meskipun transisi antar pengarang, sedikit membuat canggung, tetapi buku ini tetap menarik dibaca.

Berbagi Suami

LOVE FOR SHARE
Dilema membagi cinta



Setelah sukses di berbagai festival di luar negeri dan gagal di FFI, film besutan sutradara andal Nia Dinata - Berbagi Suami -, bisa dinikmati dalam versi DVD. Lewat film ini, Nia Dinata melanjutkan ‘perang’ terhadap poligami. Topik yang sering jadi kontroversi media massa ini dikemas Nia lewat komedi, sehingga orang tidak perlu berdebat hingga suntuk untuk memahami ide Nia. Tampaknya Nia juga ingin menghukum lelaki hidung belang yang tidak bisa memelihara cintanya di satu ranjang saja. Dan jadinya memang lucu sekali, sekaligus berkelas.

Berbagi Suami menceritakan tiga kisah yang saling berpotongan. Kisah pertama adalah Salma, perempuan berpendidikan dari keluarga kaya yang mengalami poligami suaminya. Yang kedua adalah cerita Siti yang diperisteri seorang supir produksi film yang doyan kawin, meski hidup prihatin. Cerita ketiga adalah tentang Ming dan poligami di keluarga Tionghoa.

Selain cerita dan idenya yang menarik, film ini didukung oleh para pemain yang berakting dan berinteraksi nyaris sempurna. Berbeda dengan film-film Indonesia lain, yang berakting di sini adalah karakter, bukan lagi bintang-bintang. Sebuah film yang sangat sayang dilewatkan.



Mika
Life in Cartoon Motion (EMI)







Pentas musik dunia kini semakin ramai dengan hadirnya flamboyant pop-singer/songwriter muda, Mika. Lewat album debutnya, blasteran Amerika-Lebanon ini sukses didapuk BBC sebagai The Best New Talent 2007. Mendengar album perdananya, agaknya kita juga sepakat kalau gelar itu layak disandangnya.

Menyimak vokalnya, kita langsung mendapat kesan bahwa timbre vokalnya mirip dengan almarhum Fredderick Bulzara alias Freddie Mercury,. Mika secara sadar mengadopsi gaya ex vokalis Queen itu sebagai referensi musikalnya. Atmosfer Freddie Mercury dengan kuat mencengkram jatidirinya. Simaklah olah falsetto dan latar piano akustik yang sangat Queenesque, serta introduksi gitar ala Brian May. Simak juga lirik-liriknya yang lugas dengan tema-tema yang seolah terinspirasi dari kehidupan Freddie Mercury.

Sejak diluncurkan Februari lalu, hingga kini album ini telah menetaskan 4 singles yang apik: Relax, Take It Easy, Grace Kelly, Love Today dan Lollipop Tetapi jangan salah. Tidak ada kesan meniru sedikitpun lewat album perdana Mika ini. Yang ada hanyalah sebuah perayaan terhadap kekayaan artistik yang ciamik.




Paul Oakenfold
A Lively Mind (EMI)






Posisi Paul Oakenfold di jajaran DJ terbaik dunia boleh saja melorot dari peringkat 3 di akhir tahun 2005 lalu, kini harus puas berada di urutan ke-14 saja. Tetapi ternyata hasil olahan tangan dinginnya dalam meracik dance music, beraliran Trance masih tidak boleh dipandang sebelah mata. Lewat album terbarunya ini DJ veteran asal Inggris ini membuktikan bahwa karya-karyanya masih menampilkan a passionate flowing of speed, sophistication, and energy.

Album terbaru DJ asal Inggris yang ‘besar’ di Ibiza ini menampilkan 12 trance tracks yang sebagian besar hasil kolaborasinya dengan artis-artis lain. Salah satunya adalah bintang film seksi, Brittany Murphy yang kali ini mencoba ikut tarik suara lewat salah satu hit di album ini Faster Kill Pussycat. Selain itu, album ini menampilkan nama-nama artis seperti Spitfire, Pharell Williams, Ryan Tedder dan lain-lain.

Yang jelas jika Anda sedang kangen dengan iraman trungtungtung yang pernah Anda sukai beberapa tahun yang lalu, album ini akan memberikan update yang kurang lebih cukup akurat untuk membaca peta lantai dansa saat ini.



The Godfather – Mario Puzo
An Offer You Can’t Refuse…






Penggalan kalimat di atas diambil dari film terfavorit sepanjang masa (versi IMDB), The Godfather. Hal tersebut tidak berlebihan. Biarpun telah lintas generasi lebih dari 3 dekade, popularitas film ini bisa dikatakan tak tergoyahkan. Tetapi jangan lupa, cikal bakal film ini adalah novel karya Mario Puzo yang diterbitkan pada tahun 1969.

Sejak diterbitkan, novel ini menempati posisi unik dalam psyche dan culture masyarakat Amerika. Karena novel ini, tema mafia yang tadinya hanya tampil dalam berita kriminal, jadi memasuki lahan budaya pop. Banyak kontroversi yang lahir di sekitar judul novel ini dan implikasinya di dunia underworld. Puzo terinspirasi mengangkat tema ini dari pengalamannya sebagai jurnalis.

Buku ini berkisah tentang kebangkitan dan keruntuhan ‘keluarga’ mafia Don Vito Corleone dan putra-putranya. Tetapi tidak sekedar kisah drama biasa, Puzo mendeskripsikan dengan detail berbagai kode perilaku yang aneh dalam dunia mafia, honor system dan perebutan kekuasaan yang penuh kekerasan antara berbagai keluarga saling yang berseteru.

Puzo sebenarnya menulis novel ini untuk mengekspresikan pandangannya keroposnya bangunan spirit bersama - American Dream yang sering dielu-elukan warga negara adidaya ini. Terlepas dari berbagai makna di baliknya, this book is very well-written, suspenseful and explodes in a series of dramatic climaxes. Jadi benar-benar “an offer you can’t refuse” kan?