Wednesday, February 17, 2010
Raise the Red Lantern - Sebuah masterpiece yang melampaui berbagai definisi
Sutradara: Zhang Yimou.
Diangkat dari Novel Wives And Concubines karya Su Tong.
Durasi: 126 Minutes.
Pemain:
Songlian: Gong Li ; Third Wife: He Caifei ; Second Wife: Cao Cuifeng ; First Wife: Jin Shuyuan
Raise the Red Lantern adalah salah satu film terindah yang pernah saya saksikan. Latarnya begitu memesona, tertata rapi, didekorasi dan dibingkai dengan sempurna. Gambar-gambarnya direkam melalui berbagai angle yang atraktif. Lihatlah butir-butir salju yang jatuh di atap rumah seakan mampu memberi efek dingin yang menggigit di batin penonton. Warna-warna, detil dan cahaya yang mencolok di bagian dalam rumah, bertentangan dengan kesederhanaan yang muram di halaman rumah, seolah-olah berupaya untuk terus menerus membangun kontras antara kehidupan di dalam perlindungan sang tuan besar dan kehidupan tanpa sang tuan. Jangan pula melewatkan ilustrasi musik yang nyaring dan mengiris jiwa.
Tetapi terlepas dari kecantikan visual film ini, saya amat terpikat dengan kisah yang ditulis Su Tong dan diangkat ke layar lebar oleh Zhang Yimou ini. Sebuah kisah tentang kekuasaan patriarki yang menindas, berlatar negeri China awal abad ke-20. Kisah bermula dari kedatangan sang istri keempat. Songlian yang baru berusia 19 tahun. Songlian awalnya seorang mahasiswi. Wafatnya sang ayah memberi arah baru bagi kehidupan Songlian. Dia dipaksa berhenti sekolah dan menikahi pria kaya. Songlian dipaksa menerima nasib untuk hidup sebagai gundik, meskipun dengan sinisme dan kepahitan yang tak henti ditunjukannya.
Hal yang juga sangat memikat adalah tuturan Zhang Yimou yang tampak begitu mudah menyingkap kepribadian dari karakter-karakternya, seiring dengan bergulirnya cerita. Istri pertama sudah terlalu tua untuk menjadi daya tarik seksual bagi sang tuan, tetapi dia adalah ibunda dari sang putra tertua. Istri kedua yang telah memberikan seorang putri, masih mengidam-idamkan dapat melahirkan seorang putra mahkota. Istri ketiga, seorang mantan penyanyi opera yang masih cantik dan berusaha menggunakan daya tarik dengan segala cara untuk mencuri perhatian sang tuan. Sementara Songlian menemukan dirinya terjebak dalam kompetisi memperebutkan perhatian dan mungkin juga cinta, dari sang tuan.
Di luar keempat istri sang tuan, ada pula seorang babu yang menjadi korban utama dari sistem pergundikan ini. Karena beberapa kali tak sengaja ‘tersentuh’ oleh sang tuan, dia pun bermimpi menjadi istri keempat. Ketika Songlian datang, impiannya buyar dan dia pun terbakar api cemburu.
Gong Li memerankan Songlian dengan daya pikat yang meluap-luap dan sangat cantik. Gong Li memang selalu mampu mengekspresikan rentang emosi yang cukup luas hanya dengan sekilas ekspresi saja. Hal ini yang telah membuat banyak penonton jatuh cinta padanya.
Sementara sang tuan sendiri hanya digambarkan dengan samar-samar. Dia adalah seorang pria kaya. Itu saja cukup untuk menggambarkannya. Namun kekuatan itu berhasil menjadikannya sumber konflik di antara para istrinya, bahkan pembantunya. Bagaimana kehidupan dalam sistem pergundikan ini membangun logika-logikanya. Bagaumana sang tuan dapat membuat wanita-wanita itu bersaing memperebutkan cintanya, hanya sekadar untuk mendapat tempat yang layak dalam kehidupan.
Tetapi bagi saya, tragedi paling menyedihkan bukan sekadar kisah poligami yang digambarkan dengan brutal. Film ini tidak sekadar menceritakan menceritakan dunia patriarki yang menindas. melainkan dunia dengan kelas dan kasta yang tidak berpihak pada kaum yang lemah. Hidup yang seolah tanpa pilihan dan membuat kalangan yang lemah bersedia menukar kebebasannya bagi sebuah imajunasi akan kebahagiaan melalui penguasaan materi. Sebuah permasalahan yang belum benar-benar tuntas hingga dekade pertama di abad ke-21 ini.
Ya, film ini bagi saya sangat bagus, kisah yang kuat dengan tuturan dan struktur yang lancar dan mudah dicerna, serta direkam dengan kejeniusan visual yang menakjubkan. Sebuah masterpiece yang melampaui berbagai definisi.
Film yang indah ini akan diputar oleh #klubfilm bicarafilm.com dan curipandang.com dalam rangka merayakan Tahun Baru China dan Hari Kasih Sayang yang jatuh bersamaan di tahun ini. Acara nonton bareng ini rencananya akan diadakan pada Jumat 19 Februari 2010 pukul 18:00 WIB (jangan telat!). Berikut detailnya:
Tempat: Jl. Achmad Dahlan Nomor 39 Gandaria (rumah yang letaknya pas di depan Universitas Uhamka Kebayoran Baru. Kalo dari terminal blok M, dilewatin sama Metromini 72 yang trayeknya Blok M - Lebak Bulus)
Konsumsi: Masing-masing bawa makanan alias potluck. Lebih ok lagi sudah tahu mau bawa apa sebelum hari H. Kalo cuma air putih kita sudah sediakan di sini.
HTM: Gratis tis tis.
Jika berminat ikut, silakan langsung beri komentar di bawah ini. Kapan lagi nonton film ok, sambil kenalan sama warga Curipandang dan bicarafilm yang lain? Psst, bakal ada bagi bagi hadiah pula lho. Ditunggu RSVPnya!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Menurut saya film ini sangat teatrikal, dikemas dengan setting yang minimalis dan sarat akan muatan lokal. Begitulah kesan pertama yang melekat di kepala usai menikmati film tersebut. Namun jika masuk ke dalam alur cerita, maka saya mendapatkan bahwa dalam sebuah sistem yang telah sedemikian rupa dibuat agar menjadi harmonis dan tertata rapi(ter-refleksi dalam sebuah keluarga patriarki mapan yang kaku dan serba teratur), ternyata banyak mengandung intrik dan menyimpan banyak sekali potensi konflik. Sangat jelas ditampilkan oleh keempat istri yang dengan segala cara dan kelebihannya masing-masing saling memperebutkan kekuasaan(semu)demi meraih status yang paling tinggi diantara mereka (disimbolkan oleh dinyalakannya lentera di kediaman salah satu istri dan ditentukan secara otoriter oleh sang master). Sungguh ironis, bahwa redupnya sinar lentera dapat memanipulasi pikiran para istri hingga menimbulkan obsesi persaingan yang sangat tinggi.
Namun, mungkin memang demikianlah cara diktator tetap dapat melanggengkan kekuasaanya... :D
Post a Comment