Mika
Life in Cartoon Motion (EMI)Pentas musik dunia kini semakin ramai dengan hadirnya flamboyant pop-singer/songwriter muda, Mika. Lewat album debutnya, blasteran Amerika-Lebanon ini sukses didapuk BBC sebagai The Best New Talent 2007. Mendengar album perdananya, agaknya kita juga sepakat kalau gelar itu layak disandangnya. Menyimak vokalnya, kita langsung mendapat kesan bahwa timbre vokalnya mirip dengan almarhum Fredderick Bulzara alias Freddie Mercury,. Mika secara sadar mengadopsi gaya ex vokalis Queen itu sebagai referensi musikalnya. Atmosfer Freddie Mercury dengan kuat mencengkram jatidirinya. Simaklah olah falsetto dan latar piano akustik yang sangat Queenesque, serta introduksi gitar ala Brian May. Simak juga lirik-liriknya yang lugas dengan tema-tema yang seolah terinspirasi dari kehidupan Freddie Mercury. Sejak diluncurkan Februari lalu, hingga kini album ini telah menetaskan 4 singles yang apik: Relax, Take It Easy, Grace Kelly, Love Today dan Lollipop Tetapi jangan salah. Tidak ada kesan meniru sedikitpun lewat album perdana Mika ini. Yang ada hanyalah sebuah perayaan terhadap kekayaan artistik yang ciamik.
Paul Oakenfold
A Lively Mind (EMI)Posisi Paul Oakenfold di jajaran DJ terbaik dunia boleh saja melorot dari peringkat 3 di akhir tahun 2005 lalu, kini harus puas berada di urutan ke-14 saja. Tetapi ternyata hasil olahan tangan dinginnya dalam meracik dance music, beraliran Trance masih tidak boleh dipandang sebelah mata. Lewat album terbarunya ini DJ veteran asal Inggris ini membuktikan bahwa karya-karyanya masih menampilkan a passionate flowing of speed, sophistication, and energy.Album terbaru DJ asal Inggris yang ‘besar’ di Ibiza ini menampilkan 12 trance tracks yang sebagian besar hasil kolaborasinya dengan artis-artis lain. Salah satunya adalah bintang film seksi, Brittany Murphy yang kali ini mencoba ikut tarik suara lewat salah satu hit di album ini Faster Kill Pussycat. Selain itu, album ini menampilkan nama-nama artis seperti Spitfire, Pharell Williams, Ryan Tedder dan lain-lain.Yang jelas jika Anda sedang kangen dengan iraman trungtungtung yang pernah Anda sukai beberapa tahun yang lalu, album ini akan memberikan update yang kurang lebih cukup akurat untuk membaca peta lantai dansa saat ini.
The Godfather – Mario Puzo
An Offer You Can’t Refuse…Penggalan kalimat di atas diambil dari film terfavorit sepanjang masa (versi IMDB), The Godfather. Hal tersebut tidak berlebihan. Biarpun telah lintas generasi lebih dari 3 dekade, popularitas film ini bisa dikatakan tak tergoyahkan. Tetapi jangan lupa, cikal bakal film ini adalah novel karya Mario Puzo yang diterbitkan pada tahun 1969. Sejak diterbitkan, novel ini menempati posisi unik dalam psyche dan culture masyarakat Amerika. Karena novel ini, tema mafia yang tadinya hanya tampil dalam berita kriminal, jadi memasuki lahan budaya pop. Banyak kontroversi yang lahir di sekitar judul novel ini dan implikasinya di dunia underworld. Puzo terinspirasi mengangkat tema ini dari pengalamannya sebagai jurnalis. Buku ini berkisah tentang kebangkitan dan keruntuhan ‘keluarga’ mafia Don Vito Corleone dan putra-putranya. Tetapi tidak sekedar kisah drama biasa, Puzo mendeskripsikan dengan detail berbagai kode perilaku yang aneh dalam dunia mafia, honor system dan perebutan kekuasaan yang penuh kekerasan antara berbagai keluarga saling yang berseteru. Puzo sebenarnya menulis novel ini untuk mengekspresikan pandangannya keroposnya bangunan spirit bersama - American Dream yang sering dielu-elukan warga negara adidaya ini. Terlepas dari berbagai makna di baliknya, this book is very well-written, suspenseful and explodes in a series of dramatic climaxes. Jadi benar-benar “an offer you can’t refuse” kan?
Nagabonar Jadi 2
PETUAH KEPAHLAWANAN UNTUK ABAD 21
Menarik sekali melakukan pembahasan tentang film Nagabonar Jadi 2. Film ini dimaksudkan sebagai sequel terhadap Nagabonar, film yang nasional yang rilis 21 tahun lalu. Nagabonar dahulu tak sekadar film komedi biasa. Film ini sukses besar di FFI dan juga menangguk sukses secara komesial. Tak cuma itu, karakter Nagabonar sendiri menjadi salah satu karakter fiktif paling kuat, populer dan iconic dalam sejarah Sinema Indonesia. Maka upaya membuat sequel-nya pasti akan menjadi bahan perbincangan yang sangat menarik. Dahulu film ini ditulis oleh Asrul Sani, disutradarai MT Risjaf dan dibintangi Dedy Mizwar dan Nurul Arifin. Kali ini disutradarai dan dibintangi langsung oleh Dedy Mizwar.
Kendati rentang waktu antara film aslinya dan sequel-nya ini hanya duapuluh tahun saja, rentang waktu yang meretas setting film aslinya dengan sequel-nya sekitar enampuluh tahun kemudian.
Kali ini, Nagabonar telah memiliki seorang putra dewasa bernama Bonaga. Konflik utama film ini adalah saat Bonaga dan sahabat-sahabatnya ingin menjual kebun kelapa sawit milik Bapaknya di kampung halamannya, Sumatra Utara, kepada investor dari Jepang untuk dijadikan sebuah resort. Nagabonar lantas menjadi sangat marah, sebab di kebun itu terdapat tiga makam orang yang selalu hidup di hatinya; Kirana – istrinya, Mak-nya, dan Si Bujang – sahabatnya yang gugur dalam perang kemerdekaan di film Nagabonar. “Apa kata dunia?” Lalu mulailah Nagabonar mengurai pesan-pesan dan petuah-petuahnya untuk abad 21 ini.
Film ini sukses untuk menjadi lucu. Bahkan yang tidak terlalu suka, akan bisa tertawa lepas karena lelucon-leluconnya cukup aktual dan nggak semuanya basi. Basic plot-nya juga mengena dengan situasi saat ini. Berbagai kalimat dan celetukan di film ini cukup bernas dan bisa menginspirasi kita untuk menjalani kehidupan yang lebih baik (kalau kita mau).
Tapi gw juga menemukan beberapa masalah yang membuat gw gak bisa sepenuhnya suka pada film ini. Gw sih gak terlalu perhatian ama detail ya. Jadi apa yang terjadi di kuburan waktu adegan awal gw gak bisa lihat kekurangannya secara konseptual. Tetapi justru di logika keseluruhan cerita gw ngerasa keganggu.
Salah satu diantaranya adalah soal jarak umur antara Nagabonar dan Bonaga. Misalnya saja di film Nagabonar versi MT Risyaf dan Asrul Sani, umur Nagabonar kita asumsikan saja sekitar 18 tahun, karena dia kabur dari sekolah di zaman Jepang, jadi copet lalu masuk penjara dan bebas selepas penjajahan Jepang (Dedy Mizwar sendiri kelihatan sudah lebih dari 30 tahun di film itu). Lalu kita asumsikan juga bahwa setting film Nagabonar itu sekitar tahun 1945-1949. Sedangkan setting Nagabonar Jadi 2 ini paling cepat tahun 2005 (karena sudah ada busway di film itu), maka paling muda usianya Nagabonar di film itu seharusnya sekitar 75 tahun dan paling tua sekitar 90 tahun.
Tetapi penampilan dan pembawaan Nagabonar dan Mariam (musuh Nagabonar waktu bersaing memperebutkan Kirana) di film lanjutan ini sama sekali nggak mengesankan pria sepuh berusia minimal 75 tahun. Dia layaknya pria di akhir 40-an atau awal 50-an dengan sedikit highlight abu-abu di rambutnya. rambut sih bisa aja dicat ya, tetapi masa Nagabonar yang tinggal di pedalaman Sumatera Utara itu aware untuk melakukan facelift agar mukanya begitu awet muda. Akibat logika waktu yang senjang ini akhirnya Dedy Mizwar juga jadi perlu menjelaskan kalau Bonaga adalah anak kelimanya, setelah keempat saudaranya yang lahir terdahulu langsung meninggal.
Memang cukup banyak penjelasan yang berusaha dilakukan Dedy Mizwar dalam film ini. Salah satunya juga adalah penjelasan mengapa ada nama Bujang di Nagabonar. Bujang dalam Bahasa Batak adalah kata-kata kotor, maka tidak mungkin ada orang tua memberi nama Bujang pada anaknya di Tanah Batak. Dedy Mizwar akhirnya menjelaskan bahwa si Bujang, kawannya zaman berjuang ini adalah perantau dari Padang Panjang. Nama Bujang adalah nama yang umum untuk masyarakat Minangkabau. Tetapi hal ini sebenarnya tidak terlalu perlu dilakukan.
Well, okelah. Kedua penjelasan ini bisa diterima. Tetapi akhirnya film ini terengah-engah sendiri untuk melakukan pembenaran terhadap logika-logika yang dibangunnya. Semuanya jadi harus dijelaskan secara verbal. Tidak bisa sekadar dicerna di alam bawah sadar penonton begitu saja. Masih ada lagi sih sebenernya beberapa cacat logika di film ini, tetapi mungkin nggak terlalu besar dan masih bisa dimaklumi seperti kalau kita menonton film Indonesia pada umumnya. Sayang sekali.
Selain itu di departemen akting juga gw sedikit terganggu. Tora Sudiro kayak gak seratus persen masuk dalam karakternya sebagai Bonaga. Sebagai salah seorang perantau dari kota Medan, gw melihat Tora terlalu sibuk mengurusi aksen Melayu-nya yang kurang sukses dan akibatnya lupa melakukan pendalaman terhadap karakter. Setiap kali Tora tidak beraksen terlalu Melayu, maka aktingnya pun jadi menonjol, dia berhasil mengantarkan emosi yang dituntut perannya. Tetapi kalau dia sudah sibuk mengurusi aksennya lagi, maka kembali hilanglah chemistry terhadap perannya itu.
Beda sekali dengan misalnya peran Rachel Maryam di Arisan atau bahkan Dedy Mizwar sendiri, yang logatnya sangat sublim dengan emosi dari karakter yang mereka perankan. Padahal, si Bonaga ini seharusnya tidak perlu dituntut berlogat Melayu segala (Jadi Tora bisa fokus di akting). Dia toh sudah lama tinggal di Jakarta dan bahkan mengenyam pendidikan di luar negeri. Banyak kok perantau asal Medan di Jakarta yang sudah bisa melepas logat Melayunya dan dengan lincah berbahasa Betawi, Sunda atau Inggris.
Tetapi di Departemen Akting ini gw juga ingin memberi pujian pada Dedy Mizwar yang gak pernah kendor kejagoannya dalam berakting, selain itu juga pada Wulan Guritno yang tampil sangat natural.
Yang paling jadi masalah bagi gw adalah upaya nasionalisme Dedy Mizwar yang muncul sebagai sikapnya terhadap kepahlawanan. Bagi gw, Nagabonar yang ditulis Asrul Sani dan disutradarai MT Risyaf telah mendekonstruksi kepahlawanan. Pahlawan yang selama ini senantiasa dikesankan tak bernoda, oleh Asrul dan Risyaf dibuat sebagai bahan lelucon (dalam arti positif, tentunya). Pahlawan itu bisa saja punya masa lalu kelam, bisa saja mantan copet, bisa saja buta huruf dan bisa saja jatuh cinta. Pahlawan juga manusia dengan segenap kemanusiaannya. Justru karena dia manusia biasa kita bisa menyukainya dan berkaca padanya.
Oleh Dedy Mizwar segala upaya dekonstruksi yang dilakukan Asrul Sani dan MT Risyaf selama duapuluh tahun lebih itu diluluhlantakan lagi dalam waktu dua jam. Kepahlawanan kembali dibangun sebagai monumen-monumen yang lengkap dengan patung-patung dan simbol-simbolnya yang harus dihormati secara fisik (dengan sikap menghormat ala upacara), bukan dihayati secara nurani. Ini yang gw agak kurang terima.
Gw mengerti sih bahwa Dedy Mizwar kini mengabdikan karya-karyanya untuk kepentingan syi'ar. Gw bisa menghargai itu dan bahkan gw menyukai Kiamat Sudah Dekat dan Ketika yang begitu jujur terhadap pesan dan jalan ceritanya. Tetapi jika kita bicara mengenai Nagabonar yang telah menjadi sebuah icon, bangunan ide atau sebuah konsep yang telah matang sebelumnya, gw jadi menyayangkan sekali.
Jadi intinya, bagi gw film ini punya misi yang bagus, memiliki beberapa keunggulan, tetapi juga memiliki beberapa kekurangan yang substansial. Tetapi ya sekali lagi ini penilaian gw. Penilaian orang kan bisa saja beda-beda. Bagaimanapun ini toh film Indonesia, jadi marilah ditonton sama-sama, agar selanjutnya bisa berkembang terus.