Tuesday, June 12, 2007
6:30
24 Hours to Remember
Tumbuh Dewasa bersama Cinta dan Tragedi
Beberapa film karya mahasiswa Indonesia di luar negeri, meskipun dibuat secara indie dengan keterbatasan dana dan masih memiliki keterbatasan secara teknis, namun menyiratkan harapan bagi perfilman nasional. Demikian pula film ini, a good film indeed. Sebuah coming-of-age drama yang berkisah tentang persahabatan dan tragedi. Sayang sekali di Indonesia kerap terjadi good film goes unnoticed.
Film ini tentang 3 sahabat Alit, Bima dan Tasya yang tinggal di San Fransisco. Hari ini adalah hari terakhir Alit di kota itu. Alit berniat menjadikan hari terakhirnya sebagai hari perpisahan yang layak dikenang, walaupun tak mesti kenangan manis. Pada hari ini, mulai pukul 6:30 hingga 6:30 pagi hari keesokan harinya, ketiga sahabat itu menemui benturan-benturan yang memaksa mereka mengambil keputusan penting dalam pendewasaan mereka.
Film ini tak sekadar menawarkan panorama indah San Fransisco. Keunggulan utamanya justru pendalaman karakter psikologis tiga pelaku utamanya secara subtil lewat alurnya. Film ini seolah-olah menerima warisan pengaruh X generations. Kisah cinta segitiganya mengingatkan pada Reality Bites dan perjalanan ketiga tokoh ini mengingatkan kita pada Before Sunrise dan Before Sunset.
Jahitan-jahitan pengaruh itu disusun ulang dan membangun keunikannya tersendiri. Ketiga pemain utama berakting sangat matang dan chemistry yang terbangun terlihat sangat natural. Selain itu sinematografinya pun ditata dengan sangat apik dan indah. Sayang sekali kurang didukung dengan tata suara yang baik, sehingga beberapa bagian tidak terdengar dengan jelas.
H+ (PLUS), A NEW RELIGION? – Edward de Bono
SECRET OF POSITIVE WAY OF LIFE
Menuju Kebahagiaan Hakiki
H+ adalah akronim untuk Human+. Setidaknya begitulah bagi Edward De Bono. Penulis terkenal yang telah menelurkan beberapa best seller books ini telah diakui kapasitasnya sebagai pemikir ulung di bidang creative thinking. Mungkin Anda masih ingat karya terdahulunya Lateral Thinking dan Six Thinking Hats.
Kali ini de Bono menawarkan cara untuk menjalani hidup dengan positif. Tanda + (plus) sesudah huruf H mengindikasikan aspek-aspek terbaik dalam kemanusiaan. Aspek-aspek itu antara lain Happiness, Humor, Help, Hope and Health.
De Bono menjelaskan bagaimana caranya menerapkan 5H itu dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu de Bono juga menjelaskan bagaimana kelima hal itu akan berpengaruh posotif tak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi Anda. Tak ingin sekadar menjadi buku self-help, de Bono merancang pemikiranya ini untuk menjadi gerakan sosial yang akan meningkatkan harkat kehidupan manusia.
NAIF – TELEVISI – EMI Music
Retro Pop Kaya Rasa
Grup musik Naif rupanya belum kehabisan ide untuk mengolah ramuan musik retro pop dengan bumbu komedi. Resep sukses yang telah teruji di 4 album lepas dan 1 album kompilasi the best itu, kini disajikan kembali dengan lebih matang dan kaya rasa dengan eksplorasi beragam variasi sound. Lewat album ini, Naif menyuguhkan retro pop itu dalam beragam gaya. Mulai dari ballad, middle upbeat, brit rock, bahkan hingga dance music. Semuanya tetap enak didengar.
Album kelima Naif yang bertajuk Televisi ini memang lebih catchy dan mengikuti perkembangan zaman. Artinya mereka berhasil untuk bertahan pada akar retronya, sekaligus juga mengekspresikan pendapat terhadap berbagai fenomena terkini. Hasilnya sebuah paduan yang menyenangkan untuk disimak dan sama sekali tidak membosankan.
Seperti titular song-nya, lewat album ini Naif menghadirkan sebuah televisi dengan beragam ‘tontonan’ yang tidak basi, sehingga Anda tidak akan dibuat keki. Memang, selalu ada alasan untuk menyukai Naif.
Travelers’ Tale : Belok Kanan, Barcelona! –
Adithya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya dan Iman Hidajat.
BERKELANA LEWAT IMAJINASI
Sukar untuk memasukan buku ini dalam genre travel book atau fiction. Yang jelas buku ini adalah hasil perpaduan kedua jenis bacaan itu. Artinya buku ini bisa disebut buku travel, tetapi dengan bingkai fiksi, atau sebaliknya. Buku ini ditulis mengikuti perjalanan 4 karakternya, Francis, Farah, Retno dan Jusuf.
Dimulai dengan rencana pernikahan Francis, buku ini akhirnya mengikuti perjalanan masing-masing tokoh dari berbagai penjuru dunia untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah tersampaikan dalam persahabatan mereka.
Meski disisipi muatan traveling, buku ini sukses membangun ceritanya dan menyimpulnya dengan baik. Membacanya akan membawa kita berkelana ke berbagai penjuru dunia lewat imajinasi. Alurnya membuat kita, termotivasi untuk menyelesaikan buku ini hingga huruf terakhir. Meskipun transisi antar pengarang, sedikit membuat canggung, tetapi buku ini tetap menarik dibaca.
Berbagi Suami
LOVE FOR SHARE
Dilema membagi cinta
Setelah sukses di berbagai festival di luar negeri dan gagal di FFI, film besutan sutradara andal Nia Dinata - Berbagi Suami -, bisa dinikmati dalam versi DVD. Lewat film ini, Nia Dinata melanjutkan ‘perang’ terhadap poligami. Topik yang sering jadi kontroversi media massa ini dikemas Nia lewat komedi, sehingga orang tidak perlu berdebat hingga suntuk untuk memahami ide Nia. Tampaknya Nia juga ingin menghukum lelaki hidung belang yang tidak bisa memelihara cintanya di satu ranjang saja. Dan jadinya memang lucu sekali, sekaligus berkelas.
Berbagi Suami menceritakan tiga kisah yang saling berpotongan. Kisah pertama adalah Salma, perempuan berpendidikan dari keluarga kaya yang mengalami poligami suaminya. Yang kedua adalah cerita Siti yang diperisteri seorang supir produksi film yang doyan kawin, meski hidup prihatin. Cerita ketiga adalah tentang Ming dan poligami di keluarga Tionghoa.
Selain cerita dan idenya yang menarik, film ini didukung oleh para pemain yang berakting dan berinteraksi nyaris sempurna. Berbeda dengan film-film Indonesia lain, yang berakting di sini adalah karakter, bukan lagi bintang-bintang. Sebuah film yang sangat sayang dilewatkan.
Mika
Life in Cartoon Motion (EMI)
Pentas musik dunia kini semakin ramai dengan hadirnya flamboyant pop-singer/songwriter muda, Mika. Lewat album debutnya, blasteran Amerika-Lebanon ini sukses didapuk BBC sebagai The Best New Talent 2007. Mendengar album perdananya, agaknya kita juga sepakat kalau gelar itu layak disandangnya.
Menyimak vokalnya, kita langsung mendapat kesan bahwa timbre vokalnya mirip dengan almarhum Fredderick Bulzara alias Freddie Mercury,. Mika secara sadar mengadopsi gaya ex vokalis Queen itu sebagai referensi musikalnya. Atmosfer Freddie Mercury dengan kuat mencengkram jatidirinya. Simaklah olah falsetto dan latar piano akustik yang sangat Queenesque, serta introduksi gitar ala Brian May. Simak juga lirik-liriknya yang lugas dengan tema-tema yang seolah terinspirasi dari kehidupan Freddie Mercury.
Sejak diluncurkan Februari lalu, hingga kini album ini telah menetaskan 4 singles yang apik: Relax, Take It Easy, Grace Kelly, Love Today dan Lollipop Tetapi jangan salah. Tidak ada kesan meniru sedikitpun lewat album perdana Mika ini. Yang ada hanyalah sebuah perayaan terhadap kekayaan artistik yang ciamik.
Paul Oakenfold
A Lively Mind (EMI)
Posisi Paul Oakenfold di jajaran DJ terbaik dunia boleh saja melorot dari peringkat 3 di akhir tahun 2005 lalu, kini harus puas berada di urutan ke-14 saja. Tetapi ternyata hasil olahan tangan dinginnya dalam meracik dance music, beraliran Trance masih tidak boleh dipandang sebelah mata. Lewat album terbarunya ini DJ veteran asal Inggris ini membuktikan bahwa karya-karyanya masih menampilkan a passionate flowing of speed, sophistication, and energy.
Album terbaru DJ asal Inggris yang ‘besar’ di Ibiza ini menampilkan 12 trance tracks yang sebagian besar hasil kolaborasinya dengan artis-artis lain. Salah satunya adalah bintang film seksi, Brittany Murphy yang kali ini mencoba ikut tarik suara lewat salah satu hit di album ini Faster Kill Pussycat. Selain itu, album ini menampilkan nama-nama artis seperti Spitfire, Pharell Williams, Ryan Tedder dan lain-lain.
Yang jelas jika Anda sedang kangen dengan iraman trungtungtung yang pernah Anda sukai beberapa tahun yang lalu, album ini akan memberikan update yang kurang lebih cukup akurat untuk membaca peta lantai dansa saat ini.
The Godfather – Mario Puzo
An Offer You Can’t Refuse…
Penggalan kalimat di atas diambil dari film terfavorit sepanjang masa (versi IMDB), The Godfather. Hal tersebut tidak berlebihan. Biarpun telah lintas generasi lebih dari 3 dekade, popularitas film ini bisa dikatakan tak tergoyahkan. Tetapi jangan lupa, cikal bakal film ini adalah novel karya Mario Puzo yang diterbitkan pada tahun 1969.
Sejak diterbitkan, novel ini menempati posisi unik dalam psyche dan culture masyarakat Amerika. Karena novel ini, tema mafia yang tadinya hanya tampil dalam berita kriminal, jadi memasuki lahan budaya pop. Banyak kontroversi yang lahir di sekitar judul novel ini dan implikasinya di dunia underworld. Puzo terinspirasi mengangkat tema ini dari pengalamannya sebagai jurnalis.
Buku ini berkisah tentang kebangkitan dan keruntuhan ‘keluarga’ mafia Don Vito Corleone dan putra-putranya. Tetapi tidak sekedar kisah drama biasa, Puzo mendeskripsikan dengan detail berbagai kode perilaku yang aneh dalam dunia mafia, honor system dan perebutan kekuasaan yang penuh kekerasan antara berbagai keluarga saling yang berseteru.
Puzo sebenarnya menulis novel ini untuk mengekspresikan pandangannya keroposnya bangunan spirit bersama - American Dream yang sering dielu-elukan warga negara adidaya ini. Terlepas dari berbagai makna di baliknya, this book is very well-written, suspenseful and explodes in a series of dramatic climaxes. Jadi benar-benar “an offer you can’t refuse” kan?
Monday, April 09, 2007
Nagabonar Jadi 2
PETUAH KEPAHLAWANAN UNTUK ABAD 21
Menarik sekali melakukan pembahasan tentang film Nagabonar Jadi 2. Film ini dimaksudkan sebagai sequel terhadap Nagabonar, film yang nasional yang rilis 21 tahun lalu. Nagabonar dahulu tak sekadar film komedi biasa. Film ini sukses besar di FFI dan juga menangguk sukses secara komesial. Tak cuma itu, karakter Nagabonar sendiri menjadi salah satu karakter fiktif paling kuat, populer dan iconic dalam sejarah Sinema Indonesia. Maka upaya membuat sequel-nya pasti akan menjadi bahan perbincangan yang sangat menarik. Dahulu film ini ditulis oleh Asrul Sani, disutradarai MT Risjaf dan dibintangi Dedy Mizwar dan Nurul Arifin. Kali ini disutradarai dan dibintangi langsung oleh Dedy Mizwar.
Kendati rentang waktu antara film aslinya dan sequel-nya ini hanya duapuluh tahun saja, rentang waktu yang meretas setting film aslinya dengan sequel-nya sekitar enampuluh tahun kemudian.
Kali ini, Nagabonar telah memiliki seorang putra dewasa bernama Bonaga. Konflik utama film ini adalah saat Bonaga dan sahabat-sahabatnya ingin menjual kebun kelapa sawit milik Bapaknya di kampung halamannya, Sumatra Utara, kepada investor dari Jepang untuk dijadikan sebuah resort. Nagabonar lantas menjadi sangat marah, sebab di kebun itu terdapat tiga makam orang yang selalu hidup di hatinya; Kirana – istrinya, Mak-nya, dan Si Bujang – sahabatnya yang gugur dalam perang kemerdekaan di film Nagabonar. “Apa kata dunia?” Lalu mulailah Nagabonar mengurai pesan-pesan dan petuah-petuahnya untuk abad 21 ini.
Film ini sukses untuk menjadi lucu. Bahkan yang tidak terlalu suka, akan bisa tertawa lepas karena lelucon-leluconnya cukup aktual dan nggak semuanya basi. Basic plot-nya juga mengena dengan situasi saat ini. Berbagai kalimat dan celetukan di film ini cukup bernas dan bisa menginspirasi kita untuk menjalani kehidupan yang lebih baik (kalau kita mau).
Tapi gw juga menemukan beberapa masalah yang membuat gw gak bisa sepenuhnya suka pada film ini. Gw sih gak terlalu perhatian ama detail ya. Jadi apa yang terjadi di kuburan waktu adegan awal gw gak bisa lihat kekurangannya secara konseptual. Tetapi justru di logika keseluruhan cerita gw ngerasa keganggu.
Salah satu diantaranya adalah soal jarak umur antara Nagabonar dan Bonaga. Misalnya saja di film Nagabonar versi MT Risyaf dan Asrul Sani, umur Nagabonar kita asumsikan saja sekitar 18 tahun, karena dia kabur dari sekolah di zaman Jepang, jadi copet lalu masuk penjara dan bebas selepas penjajahan Jepang (Dedy Mizwar sendiri kelihatan sudah lebih dari 30 tahun di film itu). Lalu kita asumsikan juga bahwa setting film Nagabonar itu sekitar tahun 1945-1949. Sedangkan setting Nagabonar Jadi 2 ini paling cepat tahun 2005 (karena sudah ada busway di film itu), maka paling muda usianya Nagabonar di film itu seharusnya sekitar 75 tahun dan paling tua sekitar 90 tahun.
Tetapi penampilan dan pembawaan Nagabonar dan Mariam (musuh Nagabonar waktu bersaing memperebutkan Kirana) di film lanjutan ini sama sekali nggak mengesankan pria sepuh berusia minimal 75 tahun. Dia layaknya pria di akhir 40-an atau awal 50-an dengan sedikit highlight abu-abu di rambutnya. rambut sih bisa aja dicat ya, tetapi masa Nagabonar yang tinggal di pedalaman Sumatera Utara itu aware untuk melakukan facelift agar mukanya begitu awet muda. Akibat logika waktu yang senjang ini akhirnya Dedy Mizwar juga jadi perlu menjelaskan kalau Bonaga adalah anak kelimanya, setelah keempat saudaranya yang lahir terdahulu langsung meninggal.
Memang cukup banyak penjelasan yang berusaha dilakukan Dedy Mizwar dalam film ini. Salah satunya juga adalah penjelasan mengapa ada nama Bujang di Nagabonar. Bujang dalam Bahasa Batak adalah kata-kata kotor, maka tidak mungkin ada orang tua memberi nama Bujang pada anaknya di Tanah Batak. Dedy Mizwar akhirnya menjelaskan bahwa si Bujang, kawannya zaman berjuang ini adalah perantau dari Padang Panjang. Nama Bujang adalah nama yang umum untuk masyarakat Minangkabau. Tetapi hal ini sebenarnya tidak terlalu perlu dilakukan.
Well, okelah. Kedua penjelasan ini bisa diterima. Tetapi akhirnya film ini terengah-engah sendiri untuk melakukan pembenaran terhadap logika-logika yang dibangunnya. Semuanya jadi harus dijelaskan secara verbal. Tidak bisa sekadar dicerna di alam bawah sadar penonton begitu saja. Masih ada lagi sih sebenernya beberapa cacat logika di film ini, tetapi mungkin nggak terlalu besar dan masih bisa dimaklumi seperti kalau kita menonton film Indonesia pada umumnya. Sayang sekali.
Selain itu di departemen akting juga gw sedikit terganggu. Tora Sudiro kayak gak seratus persen masuk dalam karakternya sebagai Bonaga. Sebagai salah seorang perantau dari kota Medan, gw melihat Tora terlalu sibuk mengurusi aksen Melayu-nya yang kurang sukses dan akibatnya lupa melakukan pendalaman terhadap karakter. Setiap kali Tora tidak beraksen terlalu Melayu, maka aktingnya pun jadi menonjol, dia berhasil mengantarkan emosi yang dituntut perannya. Tetapi kalau dia sudah sibuk mengurusi aksennya lagi, maka kembali hilanglah chemistry terhadap perannya itu.
Beda sekali dengan misalnya peran Rachel Maryam di Arisan atau bahkan Dedy Mizwar sendiri, yang logatnya sangat sublim dengan emosi dari karakter yang mereka perankan. Padahal, si Bonaga ini seharusnya tidak perlu dituntut berlogat Melayu segala (Jadi Tora bisa fokus di akting). Dia toh sudah lama tinggal di Jakarta dan bahkan mengenyam pendidikan di luar negeri. Banyak kok perantau asal Medan di Jakarta yang sudah bisa melepas logat Melayunya dan dengan lincah berbahasa Betawi, Sunda atau Inggris.
Tetapi di Departemen Akting ini gw juga ingin memberi pujian pada Dedy Mizwar yang gak pernah kendor kejagoannya dalam berakting, selain itu juga pada Wulan Guritno yang tampil sangat natural.
Yang paling jadi masalah bagi gw adalah upaya nasionalisme Dedy Mizwar yang muncul sebagai sikapnya terhadap kepahlawanan. Bagi gw, Nagabonar yang ditulis Asrul Sani dan disutradarai MT Risyaf telah mendekonstruksi kepahlawanan. Pahlawan yang selama ini senantiasa dikesankan tak bernoda, oleh Asrul dan Risyaf dibuat sebagai bahan lelucon (dalam arti positif, tentunya). Pahlawan itu bisa saja punya masa lalu kelam, bisa saja mantan copet, bisa saja buta huruf dan bisa saja jatuh cinta. Pahlawan juga manusia dengan segenap kemanusiaannya. Justru karena dia manusia biasa kita bisa menyukainya dan berkaca padanya.
Oleh Dedy Mizwar segala upaya dekonstruksi yang dilakukan Asrul Sani dan MT Risyaf selama duapuluh tahun lebih itu diluluhlantakan lagi dalam waktu dua jam. Kepahlawanan kembali dibangun sebagai monumen-monumen yang lengkap dengan patung-patung dan simbol-simbolnya yang harus dihormati secara fisik (dengan sikap menghormat ala upacara), bukan dihayati secara nurani. Ini yang gw agak kurang terima.
Gw mengerti sih bahwa Dedy Mizwar kini mengabdikan karya-karyanya untuk kepentingan syi'ar. Gw bisa menghargai itu dan bahkan gw menyukai Kiamat Sudah Dekat dan Ketika yang begitu jujur terhadap pesan dan jalan ceritanya. Tetapi jika kita bicara mengenai Nagabonar yang telah menjadi sebuah icon, bangunan ide atau sebuah konsep yang telah matang sebelumnya, gw jadi menyayangkan sekali.
Jadi intinya, bagi gw film ini punya misi yang bagus, memiliki beberapa keunggulan, tetapi juga memiliki beberapa kekurangan yang substansial. Tetapi ya sekali lagi ini penilaian gw. Penilaian orang kan bisa saja beda-beda. Bagaimanapun ini toh film Indonesia, jadi marilah ditonton sama-sama, agar selanjutnya bisa berkembang terus.
Wednesday, April 04, 2007
KALA
AMENANGI ZAMAN EDAN
Sebuah film action/thriller lahir dari tangan dingin sutradara muda berbakat Joko Anwar. Kala adalah film kedua Joko Anwar dan diproduksi oleh MD Entertainment. Lewat film ini, Joko layak menyandang gelar master of storytelling dalam sinema Indonesia baru. Ceritanya sendiri mengeksplorasi teknik penceritaan magical realism yang sangat khas Indonesia.
Film ini berkisah tentang polisi bernama Eros (Aryo Bayu) dan jurnalis bernama Janus (Fachri Albar) yang secara terpisah menyelidiki kematian misterius 5 laki-laki yang dibakar massa dalam sebuah kerusuhan. Negeri antah berantah (mirip Indonesia) yang jadi latar film ini memang diceritakan tengah dalam situasi zaman edan. Chaos dan ketidakadilan membayangi kehidupan masyarakat negeri itu. Semua orang menjadi stress dan ganas.
Tanpa disadari, penyelidikan Eros dan Janus terjebak dalam labirin penuh misteri dan bahaya. Janus yang menderita narcolepsi, tak sengaja menjadi satu-satunya orang yang mengetahui sebuah rahasia penting. Setiap kali menceritakan rahasia itu kepada orang lain, maka orang itu akan mati dengan mengerikan. Jalinan intrik pun tambah rumit dengan keterlibatan mantan istri Janus, Sari (Shanty) dan Ranti (Fahrani), penyanyi yang kehilangan seluruh anggota keluarganya. Legenda dan ramalan kuno akan mengurai semua misteri yang terjadi. Seorang Ratu Adil akan hadir sebagai superhero.
Tak seperti film-film Indonesia lainnya, Anda tidak perlu mencari pesan tersembunyi atau misi-misi sosial tertentu saat menonton film ini. Anda juga tidak perlu mengernyitkan dahi karena logika film yang patah-patah atau karena akting yang hysterical atau weird. Film ini membangun alurnya dengan sangat natural dan logika film terjaga dengan sangat hati-hati. Artistik dan sinematografinya juga digarap dengan sangat detail dan seksama. Walhasil, kita bisa menyaksikan hiburan 2 jam yang beautifully crafted, mencekam dan tanpa perlu terlalu banyak berceramah.
Monday, February 05, 2007
FLAGS OF OUR FATHERS
Dekonstruksi Kepahlawanan
Ketika Client Eastwood membongkar monumen-monumen kepahlawanan.
Flags of Our Fathers, film terbaru dari sutradara kampiun, Clint Eastwood mengemban tugas berat dan penting untuk menyampaikan sebuah konsep. Hebatnya, tugas berat itu berhasil dituntaskan dengan sangat memuaskan. Bukan sembarang konsep, melainkan konsep heroisme atau kepahlawanan. Kepahlawanan jika disuguhkan sebagai obyek pembicaraan, maka akan mudah menggiring kita untuk untuk terjebak pada hal-hal yang monumental dan cliché. Tetapi Eastwood berhasil membawa kita merenungi sejatinya sebuah kepahlawanan.
Film ini bertolak dari kabut perang Iwo Jima pada tahun 1945, ketika seorang jurnalis Associated Press, Joe Rosenthal memotret sebuah foto iconic yang menggambarkan enam serdadu Amerika Serikat mengibarkan bendera Amerika Serikat di Gunung Suribachi, Iwo Jima. Film ini mendekonstruksi momen kepahlawanan ini. Berbagai peristiwa yang terkait dengan pengibaran bendera ini dicacah menjadi permainan puzzle of flashbacks and flash-forwards. Eastwood membongkar semua mitos tentang foto ini. Bagaimana foto ini akhirnya menjadi alat kampanye penjualan saham perang dan bagaimana ketiga orang pengibar bendera yang masih hidup dirancang untuk menjadi pahlawan. Eastwood bahkan mengolah ruang-ruang emosional karakternya untuk menyampaikan konsep tentang kepahlawanan.
Dilihat dari sisi box office, film ini menawarkan elemen-elemen sebuah film perang yang seru dan berbobot. Eastwood tetap mengemas film ini dengan aksi keras dan berdarah-darah seperti benchmark film-film perang seperti Platoon, Saving Private Ryan atau Black Hawk Down. Yang perlu diacungi jempol juga, dengan mendekonstruksi konsep kepahlawanan ini, Eastwood sama sekali tidak mengecilkan arti penting perjuangan para serdadu itu di medan perang, justru dia memuliakan setiap orang yang telah mengorbankan hidupnya di perang itu. Sebuah film yang membuat kita bisa bertanya, kapan kita bisa menjadikan pahlawan-pahlawan bangsa kita semulia itu. Tak kurang dan tak lebih.
Wednesday, January 31, 2007
LONG ROAD TO HEAVEN
Memories of A Tragedy
Tragedi Bali Bombing 1 yang terjadi pada 12 Oktober 2002 meninggalkan kesan di benak dan hati ribuan orang. Kalyana Shira Films mengemas kesan-kesan itu menjadi karya yang intriguing, insightful dan mind-provoking berjudul “Long Road To Heaven”. Film besutan Enison Sinaro dan diproduseri Nia Dinata ini berusaha menyingkap beragam makna di balik tragedi ini. Film ini dibintangi Surya Saputra, Alex Komang, Raelee Hill dan Mirrah Foulkes.
Film ini dibuka dengan scene yang menggambarkan kekayaan panorama Bali masa kini. Dengan obyek wisata alam, obyek wisata budaya dan obyek wisata modern. Selanjutnya, film ini mengudari tragedi Bali secara multiperspektif. Pertama, adalah Hannah Catrelle, wanita Amerika yang menetap di Bali ketika tragedi itu terjadi. Kedua, perspektif Liz Thompson, wartawati Australia yang meliput persidangan kasus Bom Bali. Lewat dialektika dengan warga Bali yaitu Haji Ismail dan Wayan Diya, kedua wanita kulit putih ini mendapat pemahaman baru tentang tragedi ini. Selanjutnya, tragedi itu juga diteropong lewat kacamata eksekutor pemboman Amrozi dan Imam Samudra cs. serta para tim konseptor Jamaah Islamiyah seperti Hambali, Mukhlas, Nurdin M. Top, dan Dr. Azahari yang membangun epistemologi terhadap tindakan keji itu.
Hasilnya ternyata tidak jadi sebuah karya yang pretensius dan sarat pesan. Yang muncul adalah ilustrasi bagaimana Bali yang kerap dianggap surga oleh sebagian orang, ternyata harus dihancurkan sebagai jalan menuju surga bagi orang yang lain. Pesan yang lantas mengemuka adalah bahwa setiap suara – seminor apapun – harus didengar. Dengan senantiasa berusaha mendengar dan merespon jeritan-jeritan itu, mungkin pada akhirnya kita bisa membangun pemahaman tentang hidup bersama.
Terlepas dari kekuatan idenya, film ini terlihat agak kedodoran dalam eksekusi. Mulai dari konflik dan kontras yang tidak tertampilkan dengan matang, argumentasi yang kurang kuat, minor detail yang kurang tergarap hingga simplistic denouement. Sayang sekali. Namun upaya membuka wawasan semua orang dan ide mengangkat aspirasi setiap pihak ini adalah langkah awal yang patut dipuji, untuk menciptakan sebuah dunia damai yang terbuka terhadap perbedaan.
Subscribe to:
Posts (Atom)